Selasa, 18 Agustus 2009

GARAM DAN TELAGA

Dahulu kala, hiduplah seorang tua yang bijaksana. Tidak ada yang tahu nama yang sebenarnya. Semua memanggilnya dengan Pak Tua Bijak. Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda menemui Pak Tua Bijak. Pemuda itu kemudian menceritakan semua masalahnya. Pak Tua Bijak mendengar semua keluhan pemuda itu.

Setelah pemuda itu selesai mencurahkan isi hatinya, Pak Tua Bijak mengambil segenggam garam. Di depan si pemuda, Pak Tua menuang garam itu ke dalam segelas air. Setelah diaduk, ia memberikan gelas air itu kepada si pemuda. “Coba diminum! Dan bagaimana rasanya ?” kata Pak Tua. “Asin, asin sekali!” kata si pemuda setelah meminum air bercampur garam itu.

Pak Tua Bijak tersenyum sedikit. Lalu ia mengajak tamunya berjalan ke tepi sebuah telaga yang jernih. Pak Tua Bijak mengambil segenggam garam dan menaburkannya ke dalam air telaga. Dengan sepotong kayu dia mengaduk-aduk air telaga. “Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah! Katanya. Saat pemuda itu selesai meminum air telaga, Pak Tua bertanya lagi, “Bagaimana rasanya ?” “Segar, “ sahut pemuda itu. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air telaga ini ?” tanya Pak Tua Bijak lagi. ”Tidak!” jawab pemuda itu. Pak Tua lalu mengajak pemuda itu duduk berhadapan di tepi telaga itu.

“Anak muda,” kata Pak Tua Bjak memulai percakapan mereka. “Pahitnya kehidupan ini sama seperti segenggam garam tadi. Kepahitan yang kita rasakan itu sangat bergantung pada wadah untuk menampungnya. Jika kita menampungnya dengan gelas, kepahitan itu akan terasa sangat pahit. Sebaliknya jika kita menampungnya dengan telaga, kepahitan itu tidak akan terasa.” Pak Tua melanjutkan katanya-katanya, “Wadah untuk menampung kepahitan kehidupan ini adalah hati kita. Karena itu, saat kamu menghadapi kegagalan dalam hidup, luaskanlah hatimu untuk menampung semua kegagalan itu.”
Setelah mendengar nasihat Pak Tua, pemuda itu pun pulang dengan lega. Pak Tua menyimpan segenggam garam lagi untuk orang lain yang akan datang membawa keresahannya.

(Sumber : Majalah Bobo, Thn XXXVI, 14 Agustus 2008, halaman 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar